Sekarang ini, fashion atau mode semakin berkembang. Mode yang terkenal di tanah
air kita bukan hanya pakaian atau kain saja, tetapi ada juga topi-topi
tradisional khas yang menjadi kebanggaan dari masing-masing daerah di
Indonesia. Selain blangkon atau peci yang paling terkenal, masih ada banyak
topi-topi khas daerah lain yang unik.
Topi bukan lagi hanya sebagai pelindung
kepala atau rambut dari paparan sinar matahari. Namun, sekarang banyak
masyarakat Indonesia yang memakai topi untuk gaya maupun untuk acara adat
tertentu sebagai bukti kebanggaan akan budaya daerah yang tak ternilai
harganya. Berikut ini beberapa topi tradisional Indonesia:
Peci
Peci memang paling sering kita jumpai di
mana-mana. Selepas solat Jumat, pasti banyak kaum Muslim yang mengenakan peci
keluar dari masjid. Berasal dari kata Belanda, yaitu ‘petje’, memiliki arti topi kecil dan sangat erat kaitannya dengan
budaya Melayu. Topi ini berbentuk oval dan dulu dominan berwarna hitam, baru
akhir-akhir ini peci tersedia dalam beragam warna maupun motif dengan bahan
katun atau beludru.
Nama lain dari peci adalah songkok atau kopiah, dan selain di
Indonesia, peci juga dikenakan oleh kebanyakan kaum Muslim pria di Brunei
Darussalam, Malaysia, Singapura, Filipina Selatan dan Thailand Selatan. Di
Indonesia, pemakaian peci juga menyimbolkan rasa nasionalis terhadap tanah air.
Blangkon
Blangkon biasanya terbuat dari batik.
Keunikannya terletak pada mondolan yang ada di belakangnya, yang melambangkan
sifat masyarakat Jawa yang pandai menyimpan rahasia dan sopan dalam bertutur.
Ada 4 macam jenis blankon berdasarkan bentuk dan asalnya, yakni blangkon
Ngayogyakarta, blangkon Surakarta, blangkon Kedu, dan blangkon Banyumasan.
Menurut masyarakat Jawa kuno, blangkon
dipercaya berasal dari cerita legenda Aji Saka. Dalam cerita itu Aji Saka mengalahkan Dewata
Cengkar, raksasa yang memiliki tanah Jawa, dengan cara menyebar penutup kepala
raksasa yang bisa menutup seluruh tanah Jawa. Namun ada juga teori yang
mengatakan bahwa penggunaan blangkon merupakan pengaruh dari kebudayaan Hindu
dan Islam yang diserap oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Muslim pertama yang
memasuki Jawa berasal dari daratan Arab dan saudagar Gujarati. Blangkon
dipercaya berasal dari turban yang dikenakan oleh para saudagar Gujarati.
Seraung
Seraung merupakan topi lebar yang
terbuat dari anyaman daun kering dan dihiasi kain bermotif atau manik-manik.
Topi ini identik sebagai topi petani karena banyak petani yang menggunakannya
saat bekerja di ladang. Bentuknya yang lebar mampu menutupi kepala dari
teriknya sinar matahari.
Topi ini merupakan topi khas suku
Dayak. Salah satu kelompok yang masih membuat dan memakai topi ini dalam
kehidupan sehari-hari adalah masyarakat Dayak Kenyah yang tinggal di Lekaq
Kidau, Kalimantan Timur. Mereka biasanya mengenakan seraung ketika beraktivitas
di luar rumah, terutama di hutan, dan juga saat upacara-upacara adat. Seraung
sangat melekat dengan kehidupan masyarakat Dayak, bahkan sampai ada satu tarian
Dayak yang bernama Tari Seraung , yang menggambarkan kekayaan seni dan budaya masyarakat
Dayak.
Tanjak
Semacam topi hiasan kepala yang terbuat
dari kain songket yang lazim dipakai oleh sultan dan pangeran, serta
bangsawan Kesultanan Melayu. Tanjak juga biasanya digunakan bersama dengan kain
atau sarung songket. Di Palembang, topi ini biasanya dipakai oleh keluarga
pengantin saat acara resepsi pernikahan atau juga sebagai pelengkap acara adat
Palembang yang biasanya digunakan oleh kaum pria Palembang.
Kupiah
Kupiah merupakan topi yang berasal dari
Pidie, Aceh ( dan dikenakan oleh kaum pria Aceh dalam kehidupan
sehari-hari maupun sebagai sebagai pelengkap busana adat Aceh dalam upacara
adat tertentu, seperti upacara pernikahan. Topi ini terbuat dari kain songket
Aceh yang disertai dengan pernak-pernik khas Aceh. Ada dua jenis kupiah , di antaranya:
-
Kupiah Meukeutob
Pada masa
pemerintahan kerajaan di Aceh, topi ini merupakan pakaian sehari-hari yang
khusus dikenakan oleh raja dan ulama. Topi ini sudah dikenal pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
-
Kupiah Riman
Pada masa
pemerintahan kerajaan di Aceh, topi ini menjadi pakaian sehari-hari kaum
bangsawan dan rakyat biasa. Proses pembuatannya butuh ketekunan dan waktu yang
cukup lama, yakni sekitar 15 hari.
Iket
Topi ini merupakan bagian dari kelengkapan
berpakaian pria sehari-hari di pulau Jawa dan Bali. Di Sunda, topi ini dikenal
dengan sebutan ‘totopong’, sementara di Bali, topi ini lebih dikenal dengan
‘udeng’.
Di masa silam, penggunaaniket
oleh pria menjadi keharusan karena dipercaya bisa melindungi mereka dari
roh-roh jahat, selain untuk fungsi praktis seperti sebagai wadah/ pembungkus,
selimut, bantalan untuk mengangkut beban di kepala, dan lainnya. Sedangkan saat
ini fungsi iket lebih sebagai aksesoris dan upaya melestarikan budaya daerah.
Ti’i
Langga
Kalau orang Meksiko punya sombrero, maka
orang Rote punya Ti’i Langga. Topi tradisional ini berasal dari Pulau Rote,
yaitu pulau terkecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Topi ini terbuat dari
daun lontar berbentuk melingkar dengan sebuah tanduk kecil yang berdiri tegak
di atasnya. Tanduk tersebut sering disebut dengan istilah ‘antena’ yang
mempunyai sembilan tingkat.
Jiwa kepemimpinan, kewibawaan, dan percaya
diri menjadi teladan yang terkandung dalam topi ini. Selain itu, ada arti menarik
di balik topi ini. Karena terbuat dari daun lontar kering dengan kadar air yang
tidak terukur dan semakin lama semakin mengering, topi ini pada akhirnya akan
berubah warna dari kuning muda menjadi cokelat, dan ‘antena’ yang tadinya
berdiri tegak akan menjadi miring serta sulit untuk ditegakkan kembali. Hal ini
menggambarkan karakter orang Rote yang tergolong sangat keras dengan prinsip
hidup yang kuat dan tanpa kompromi, jadi kalau sudah ‘miring’ akan sangat sulit
untuk dikendalikan seperti ‘antena’ Ti’i Langga yang sudah miring.
Demikian informasi dari saya mengenai
topi-topi tradisional yang ada di Indonesia. Apabila ada yang berkenan ingin
menambahkan informasi mengenai topi daerahnya masing-masing, silakan tambahkan
di kotak komentar.