Thursday, November 28, 2013

Topi Tradisional Indonesia



Sekarang ini, fashion atau mode semakin berkembang. Mode yang terkenal di tanah air kita bukan hanya pakaian atau kain saja, tetapi ada juga topi-topi tradisional khas yang menjadi kebanggaan dari masing-masing daerah di Indonesia. Selain blangkon atau peci yang paling terkenal, masih ada banyak topi-topi khas daerah lain yang unik.

Topi bukan lagi hanya sebagai pelindung kepala atau rambut dari paparan sinar matahari. Namun, sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memakai topi untuk gaya maupun untuk acara adat tertentu sebagai bukti kebanggaan akan budaya daerah yang tak ternilai harganya. Berikut ini beberapa topi tradisional Indonesia:

Peci
Peci memang paling sering kita jumpai di mana-mana. Selepas solat Jumat, pasti banyak kaum Muslim yang mengenakan peci keluar dari masjid. Berasal dari kata Belanda, yaitu ‘petje’, memiliki arti topi kecil dan sangat erat kaitannya dengan budaya Melayu. Topi ini berbentuk oval dan dulu dominan berwarna hitam, baru akhir-akhir ini peci tersedia dalam beragam warna maupun motif dengan bahan katun atau beludru.



Nama lain dari peci adalah songkok  atau kopiah, dan selain di Indonesia, peci juga dikenakan oleh kebanyakan kaum Muslim pria di Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Filipina Selatan dan Thailand Selatan. Di Indonesia, pemakaian peci juga menyimbolkan rasa nasionalis terhadap tanah air.

Blangkon
Blangkon biasanya terbuat dari batik. Keunikannya terletak pada mondolan yang ada di belakangnya, yang melambangkan sifat masyarakat Jawa yang pandai menyimpan rahasia dan sopan dalam bertutur. Ada 4 macam jenis blankon berdasarkan bentuk dan asalnya, yakni blangkon Ngayogyakarta, blangkon Surakarta, blangkon Kedu, dan blangkon Banyumasan.



Menurut masyarakat Jawa kuno, blangkon dipercaya berasal dari cerita legenda  Aji Saka. Dalam cerita itu Aji Saka mengalahkan Dewata Cengkar, raksasa yang memiliki tanah Jawa, dengan cara menyebar penutup kepala raksasa yang bisa menutup seluruh tanah Jawa. Namun ada juga teori yang mengatakan bahwa penggunaan blangkon merupakan pengaruh dari kebudayaan Hindu dan Islam yang diserap oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Muslim pertama yang memasuki Jawa berasal dari daratan Arab dan saudagar Gujarati. Blangkon dipercaya berasal dari turban yang dikenakan oleh para saudagar Gujarati.

Seraung
Seraung merupakan topi lebar yang terbuat dari anyaman daun kering dan dihiasi kain bermotif atau manik-manik. Topi ini identik sebagai topi petani karena banyak petani yang menggunakannya saat bekerja di ladang. Bentuknya yang lebar mampu menutupi kepala dari teriknya sinar matahari.



Topi ini merupakan topi khas suku Dayak. Salah satu kelompok yang masih membuat dan memakai topi ini dalam kehidupan sehari-hari adalah masyarakat Dayak Kenyah yang tinggal di Lekaq Kidau, Kalimantan Timur. Mereka biasanya mengenakan seraung ketika beraktivitas di luar rumah, terutama di hutan, dan juga saat upacara-upacara adat. Seraung sangat melekat dengan kehidupan masyarakat Dayak, bahkan sampai ada satu tarian Dayak yang bernama Tari Seraung , yang menggambarkan kekayaan seni dan budaya masyarakat Dayak.

Tanjak
Semacam topi hiasan kepala yang terbuat dari kain songket  yang lazim dipakai oleh sultan dan pangeran, serta bangsawan Kesultanan Melayu. Tanjak juga biasanya digunakan bersama dengan kain atau sarung songket. Di Palembang, topi ini biasanya dipakai oleh keluarga pengantin saat acara resepsi pernikahan atau juga sebagai pelengkap acara adat Palembang yang biasanya digunakan oleh kaum pria Palembang.



Kupiah
Kupiah merupakan topi yang berasal dari Pidie, Aceh ( dan dikenakan oleh kaum pria Aceh dalam kehidupan sehari-hari maupun sebagai sebagai pelengkap busana adat Aceh dalam upacara adat tertentu, seperti upacara pernikahan. Topi ini terbuat dari kain songket Aceh yang disertai dengan pernak-pernik khas Aceh. Ada dua jenis kupiah , di antaranya:

-          Kupiah Meukeutob
Pada masa pemerintahan kerajaan di Aceh, topi ini merupakan pakaian sehari-hari yang khusus dikenakan oleh raja dan ulama. Topi ini sudah dikenal pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.



-          Kupiah Riman
Pada masa pemerintahan kerajaan di Aceh, topi ini menjadi pakaian sehari-hari kaum bangsawan dan rakyat biasa. Proses pembuatannya butuh ketekunan dan waktu yang cukup lama, yakni sekitar 15 hari.



Iket
Topi ini merupakan bagian dari kelengkapan berpakaian pria sehari-hari di pulau Jawa dan Bali. Di Sunda, topi ini dikenal dengan sebutan ‘totopong’, sementara di Bali, topi ini lebih dikenal dengan ‘udeng’.



Di masa silam, penggunaaniket  oleh pria menjadi keharusan karena dipercaya bisa melindungi mereka dari roh-roh jahat, selain untuk fungsi praktis seperti sebagai wadah/ pembungkus, selimut, bantalan untuk mengangkut beban di kepala, dan lainnya. Sedangkan saat ini fungsi iket lebih sebagai aksesoris dan upaya melestarikan budaya daerah.



Ti’i Langga
Kalau orang Meksiko punya sombrero, maka orang Rote punya Ti’i Langga. Topi tradisional ini berasal dari Pulau Rote, yaitu pulau terkecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Topi ini terbuat dari daun lontar berbentuk melingkar dengan sebuah tanduk kecil yang berdiri tegak di atasnya. Tanduk tersebut sering disebut dengan istilah ‘antena’ yang mempunyai sembilan tingkat.



Jiwa kepemimpinan, kewibawaan, dan percaya diri menjadi teladan yang terkandung dalam topi ini. Selain itu, ada arti menarik  di balik topi ini. Karena terbuat dari daun lontar kering dengan kadar air yang tidak terukur dan semakin lama semakin mengering, topi ini pada akhirnya akan berubah warna dari kuning muda menjadi cokelat, dan ‘antena’ yang tadinya berdiri tegak akan menjadi miring serta sulit untuk ditegakkan kembali. Hal ini menggambarkan karakter orang Rote yang tergolong sangat keras dengan prinsip hidup yang kuat dan tanpa kompromi, jadi kalau sudah ‘miring’ akan sangat sulit untuk dikendalikan seperti ‘antena’ Ti’i Langga yang sudah miring.

Demikian informasi dari saya mengenai topi-topi tradisional yang ada di Indonesia. Apabila ada yang berkenan ingin menambahkan informasi mengenai topi daerahnya masing-masing, silakan tambahkan di kotak komentar.

Wednesday, November 27, 2013

Sejarah Kaligrafi Islam



Kalau mendengar kata ‘kaligrafi’ , pasti langsung terbayang seni tulisan indah ala Arab. Akan tetapi, kaligrafi bukan hanya dikenal sebagai salah satu kebudayaan Arab, tapi juga kebudayaan Jepang, China, maupun Yunani. Hanya saja kaligrafi Arab memang lebih terkenal di sini karena Indonesia mayoritas penduduknya muslim.



Dalam seni rupa Islam, kaligrafi biasanya dibuat untuk memvisualisasikan keindahan ayat-ayat Al-Quran. Bentuknya pun beragam, tidak selalu berupa guratan pena di atas kertas, tetapi juga ditatahkan di atas logam atau kulit. Salah satu bentuk penerapan kaligrafi Islam sebagai seni hias ada di Istana Alhambra , Spanyol.



Di Indonesia sendiri, kaligrafi juga dibuat dalam berbagai macam kreasi. Salah satunya ada kaligrafi Arab Kayu yang diukir di atas kayu, bisa dari kayu jati, mahoni, maupun kayu lainnya. Kaligrafi ini diukir oleh masyarakat Jepara dengan presisi yang cukup tinggi. Kaligrafi Indonesia biasanya memuat lafaz Allah atau Muhammad, Ayat Kursi , Ayat Seribu Dinar, Asmaul Husna, dan surah-surah Al-Quran.



Walaupun kaligrafi dikenal mengagumkan, bangsa Arab pada zaman dulu lebih bangga dengan lisan yang pandai bersyair dibanding tulisan indah. Karenanya, kebudayaan menulis sangat minim dilakukan. Kalau pun ada syair yang sangat indah, itu pun baru akan ditulis kalau ingin digantungkan pada Ka’bah. Al-Quran hanya disimpan di dalam memori dan baru ditulis dalam bentuk kitab setelah banyak hafiz atau penghafal Quran yang wafat di medan pertempuran. Hingga kemudian baru dimulai penulisan Al-Quran pada masa khalifah Abu Bakr Ash Shidiq dan mulai disusun rapi pada masa khalifah Utsman bin Affan.

Meski aksara Arab diperkirakan sudah muncul satu abad sebelum Islam datang, tapi kaligrafi baru muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Tidak heran jika pada generasi awal Islam, kaligrafi bukan menjadi sesuatu yang diperhatikan. Meskipun perkembangannya terbilang lambat, kaligrafi akhirnya mulai mendapat tempat di hati masyarakat muslim dan mendapat tempat tersendiri dalam kesenian Islam karena bertujuan memperindah lafaz Allah. Bahkan pada tahap berikutnya, kaligrafi sepenuhnya menjadi karya seni Islam dan membawa pengaruh pada seni lukis.



Lebih jauh lagi, Habibullah Fadzoili dalam Athlasul Khat wa al-Kutub membagi 6 periode perkembangan kaligrafi, yakni:

Pertama, era pertumbuhan saat huruf Arab belum memiliki tanda baca. Gaya kufi (gaya tulisan yang kaku dan sangat formal) muncul periode ini.

Kedua, periode ini baru dimulai saat kekhalifahan Bani Umayah, di mana kaligrafi mulai berkembang lebih indah. Kaligrafi dengan gaya yang lebih luwes dan lebih ornamental seperti gaya tsuluts, naskhi, muhaqqaq, raihani, riq’I, dan tauqi’ muncul pada periode yang berlangsung hingga pertengahan kepemimpinan Dinasti Abbasiyah ini.

Ketiga, periode penyempurnaan, pengembangan metode dan juga standardisasi kaligrafi. Gaya-gaya sebelumnya mulai dimodifikasi dan diberi kaidah sesuai ketentuan yang sudah dibuat oleh para ahli.

Keempat, pengembangan kaidah dan metode pada era sebelumnya. Dalam periode ini mulai muncul harmonisasi dua gaya dalam satu kanvas.

Kelima, masuk periode pengolahan, di mana pengembangan teknik lebih mendapat penekanan dan ratusan gaya berhasil diciptakan para ahli kaligrafi.

Keenam, masa di mana Dinasti Mamluk berkuasa di Mesir dan Dinasti Safawi berkuasa di Persia. Pengembangan gaya terus terjadi pada periode ini hingga mencapai puncak saat periode Turki Utsmani.

Saat Dinasti Abbasiyah runtuh akibat serangan Mongol, perkembangan kaligrafi justru makin memuncak. Apalagi dengan keberadaan ahli kaligrafi ternama, Yaqut, menjadikan Dinasti Mongol sebagai penganut Islam. Saat itulah kaligrafi mengalami perkembangan di negeri Islam Timur, terutama saat Mongol berada di bawah kepemimpinan Ghazan dan Uljaytu, yang kemudian menjadi era kemajuan seni dan sastra. Pada masa inilah perkembangan kaligrafi mencapai puncaknya.

Setelah berakhirnya generasi Mongol pada abad ke-14, kaligrafi masih populer di bawah kekuasan Dinasti Timurid yang dipimpin Timur Leng. Beliau menciptakan gaya baru kaligrafi untuk penulisan Al-Quran, menggantikan gaya Mongol dengan pola megah dan geometris.

Sekian tulisan saya mengenai sejarah kaligrafi Islam. Panjang juga ya sejarahnya? Butuh waktu untuk membaca memang, tapi semoga bermanfaat terutama bagi yang tertarik dengan karya seni yang satu ini.

Kerajinan Eceng Gondok: Menyulap Hama Menjadi Penghasilan Utama



Dulu, eceng gondok dianggap sebagai hama yang mengotori sungai, karena tumbuhan ini memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi dan dengan mudah menyebar melalui saluran air. Namun dengan sentuhan kreatif, tanaman apung yang satu ini ternyata bisa dijadikan kerajinan yang cukup potensial dari segi ekonomi, bahkan telah menembus pasar ekspor.

Menurut Wikipedia , eceng gondok atau enceng gondok adalah salah satu jenis tumbuhan air yang mengapung. Di beberapa daerah di Indonesia, tanaman ini mempunyai nama lain, seperti kelipuk yang dikenal di Palembang, kinggak di Lampung, ilung-ilung di Dayak, serta di Manado dikenal dengan nama tumpe.



Kerajinan yang terbuat dari bahan dasar eceng gondok pun ada beragam, antara lain berupa hiasan dinding, sandal, taplak meja, bantal kursi, tas , dompet, dan banyak lagi. Jika sudah berbentuk barang kerajinan, nilai minus eceng gondok sebagai tanaman hama pun sirna.




Harga barang kerajinan yang terbuat dari eceng gondok biasanya cukup terjangkau, berkisar antara dua puluh ribu sampai dua ratus ribu rupiah, tergantung dari model dan jenis bendanya. Istri saya termasuk salah satu penggemar barang-barang kerajinan eceng gondok, selain modelnya yang beragam, sentuhan tradisional dari kerajinan ini pun cukup kental.



Ada pun seorang warga Kelurahan Klego, Pekalogan, Jawa Tengah bernama Abdul Jalal  yang mulai menekuni kerajinan eceng gondok sejak 5 tahun lalu. Kreativitasnya muncul saat dia melihat hamparan tanaman eceng gondok di sebuah sungai dekat kediamannya. Dari situ timbul keinginan untuk membuat manfaat dari tanaman eceng gondok yang dipungutnya dari sungai. Tidak disangka, buah kreativitasnya diminati banyak orang.

Sampai saat ini, usaha kerajinan eceng gondok Abdul Jalal masih berjalan dan tidak hanya dipasarkan di dalam negeri saja, tapi juga sudah merambah ke pasar ekspor di Eropa dan Timur Tengah, seperti Amerika, Australia, Inggris, Belgia, Arab Saudi. Sungguh suatu pencapaian yang membanggakan.

Abdul Jalal mengakui, awalnya dia membuat kerajinan eceng gondok itu belajar dari orang lain, hingga kemudian dia belajar dan mencoba mandiri. Sekarang pun dia tidak lagi perlu memungut eceng gondok sendiri, melainkan menerima pasokan dari para pencari eceng gondok dari Pekalongan dan sekitarnya.

Cara membuat kerajinan dari eceng gondok ini terbilang sederhana . Ada pun caranya sebagai berikut:

1.      Pengumpulan
Aktivitas ini merupakan tantangan bagi pengrajin eceng gondok, maka tak heran jika biasanya mereka menerima pasokan dari para pencari eceng gondok. Pengumpulan eceng gondok ini sebenarnya merupakan pekerjaan mulia karena selain membersihkan sungai, juga sekaligus mencegah banjir yang mungkin datang akibat penumpukan sungai dari tanaman ini.



2.      Pencucian
Setelah terkumpul dalam jumlah besar, eceng gondok kemudian dicuci supaya bersih untuk menghilangkan bau yang tidak sedap. Caranya cukup disemprot dengan air bersih dan kotorannya dirontokkan dengan cara dibanting-banting. Pencucian bisa dilakukan di lokasi pengumpulan eceng gondok supaya tidak mengotori angkutan yang akan membawanya ke tempat produksi kerajinan.



3.      Pemilahan
Begitu sampai di lokasi pengrajin, eceng gondok mulai dipilah-pilah untuk mengklasifikasikan bahan yang akan digunakan untuk kerajinan. Caranya dengan memotong menggunakan gunting kain yang kuat atau pisau, karena tingkat kekerasan eceng gondok membuatnya susah untuk dipatahkan dengan tangan.



4.      Pengeringan
Eceng gondok kemudian dijemur hingga kering. Pada musim hujan, proses pengeringan bisa berjalan sangat lama dan sulit. Di beberapa industri kecil, pengeringan dilakukan dengan cara diasap atau diletakkan dalam ruang pengering, tetapi cara ini kurang efektif dibanding dengan proses pengeringan alami karena kualitas eceng gondok akan menurun.



5.      Penganyaman
Eceng gondok yang berupa daun biasanya dikeringkan sampai benar-benar hilang kadar airnya, sementara yang berupa batang biasanya dianyam dulu setelah kering sebelum digunakan sebagai bahan pembuat kerajinan. Penganyaman ini bisa berbentuk lilitan kecil maupun anyaman sedang.



6.      Pembuatan Pola
Sebelum memotong dan membentuk anyaman yang telah dibuat, terlebih dahulu dibuat pola untuk barang kerajinan pada kertas koran atau cukup digambar di atas kertas.

7.      Finishing
Pada proses ini, kerajinan diwarnai dengan cat minyak atau pernis, atau bisa juga dilukis dengan berbagai macam corak sesuai keinginan.

Demikian pembahasan mengenai kerajinan eceng gondok. Barangkali ada yang berminat untuk memulai bisnis kerajinan ini, silakan dicoba, dan semoga berhasil.