Sejujurnya saya
sedih menonton sinetron-sinetron remaja masa kini. Orang Jawa di tayangan
tersebut digambarkan lugu,
lamban, dan tidak kritis. Tapi yang paling tidak mengenakkan buat saya selaku
orang yang terlahir di Jogja dan pebisnis (biarpun kecil, hehehe), ini membuat
orang Jawa tercitra jauh dari dunia usaha.
Bisakah kita membayangkan tokoh dengan karakter Jawa di
TV-TV itu sebagai pengusaha atau pebisnis, yang menuntut dia cekatan dan
tangkas? Saya sih tidak.
Padahal orang
Jawa tidak seperti itu. (Atau, mungkin lebih tepat dibilang, tidak semuanya
seperti itu.) Cobalah kita berkunjung ke Lasem, Pekalongan, Jepara, atau sentra-sentra bisnis
terkemuka di Jawa Tengah. Kita akan menemukan orang Jawa, yang terkesan lamban itu, gigih dalam
berusaha menggaet kita,
calon pembelinya. Mereka amat cekatan berjualan, dan lagi terampil memasarkan
produknya. Produk-produk mereka, yang memang berkualitas tinggi, diekspor
hingga ke puluhan negara dunia.
Sentra anyaman di Jepara |
Buat saya
sendiri, hal semacam itu sama sekali tidak mengherankan. Banyak pelajaran wirausaha
yang sebetulnya bisa digali dari filosofi Jawa tradisional. Bukan hanya Steve
Job yang punya pemikiran di bidang bisnis dan bisa bilang, “Stay foolish, stay hungry.”
Ada ungkapan Jawa pula yang menyerupainya berbunyi, “Urip iku urup.” Hidup itu
menyala.
Benar. Hidup
berbeda dengan mati, yang identik dengan padam. Anda, yang sedang hidup ini,
hanya dapat dikatakan benar-benar hidup apabila memancarkan daya dan keberadaan
kita di dunia. Nah,
nilai ini sangat pas tentunya untuk seorang pengusaha. Artinya, saya kira:
jangan pernah menyerah dengan keadaan meski tantangan datang silih berganti dan
berusaha mematikan semangat kita.
Harga bahan baku yang terus naik, persaingan tak sehat, dan tekanan
dari berbagai pihak memang perlu disikapi dengan mental yang kuat. Di samping itu, semakin bertumbuhlah dalam memberi manfaat
bagi lingkungan Anda, bagai lilin yang benderang menerangi sekitarnya.
Ada juga ungkapan,
“Aja gumunan, aja getunan, aja kagetan, aja aleman.” Jangan mudah
terheran-heran, menyesal, terkejut-kejut, ngambek, ataupun bersikap manja. Bagi
saya, ungkapan ini mengingatkan agar kita mengutamakan profesionalitas di atas
kepentingan atau perasaan pribadi. Pengalaman buruk merupakan hal yang sangat
biasa dalam dunia usaha. Bila tak cukup teguh dan keras terhadap diri kita
sendiri, kita akan dengan mudah menuruti perasaan kita sendiri dan tersapu oleh
gelombang.
Dalam hal-hal tertentu, saya bahkan jauh lebih suka
menerapkan nilai-nilai Jawa untuk bisnis dibanding wejangan-wejangan para
taipan sukses Barat. Kelebihan etika Jawa adalah kentalnya penekanan untuk
menjauhi egoisme, jangan mementingkan diri sendiri, prioritaskan keselarasan
dengan lingkungan. Sementara cara berpikir Barat, sebaliknya, kerap menekankan
individualitas dan pencapaian diri. Salah-salah menjalaninya, seseorang malah bisa
terjatuh dalam egonya sendiri.
Gunungan |
Terakhir, ungkapan “Ojo kuminter
mundak keblinger, ojo cidro mundak ciloko,” yang artinya
jangan merasa paling pandai supaya tidak salah arah, jangan ingkar dan curang
supaya tidak celaka. Ini asas yang, bagi saya, nomor satu mesti dijunjung dalam
membangun bisnis. Sering ketergesa-gesaan seseorang meraih sukses pribadi
membuatnya menghalalkan segala cara tanpa mengindahkan sesamanya. Padahal
bisnis tak mungkin berjalan tanpa kepercayaan—yang awalnya berasal dari
kejujuran. Bisnis tak akan ada tanpa rekan kita yang juga ikut sukses dan
menikmati hasilnya.
Jadi, bagaimana dengan Anda? Filosofi Steve Jobs atau
filosofi Jawa?
Sumber: http://www.tokoon.com/Product/Detail/15857/0/0/2
No comments:
Post a Comment