Tuesday, December 3, 2013

Menerapkan Filosofi Jawa dalam Berbisnis



Sejujurnya saya sedih menonton sinetron-sinetron remaja masa kini. Orang Jawa di tayangan tersebut digambarkan lugu, lamban, dan tidak kritis. Tapi yang paling tidak mengenakkan buat saya selaku orang yang terlahir di Jogja dan pebisnis (biarpun kecil, hehehe), ini membuat orang Jawa tercitra jauh dari dunia usaha.
Bisakah kita membayangkan tokoh dengan karakter Jawa di TV-TV itu sebagai pengusaha atau pebisnis, yang menuntut dia cekatan dan tangkas? Saya sih tidak.

Padahal orang Jawa tidak seperti itu. (Atau, mungkin lebih tepat dibilang, tidak semuanya seperti itu.) Cobalah kita berkunjung ke Lasem, Pekalongan, Jepara, atau sentra-sentra bisnis terkemuka di Jawa Tengah. Kita akan menemukan orang Jawa, yang terkesan lamban itu, gigih dalam berusaha menggaet kita, calon pembelinya. Mereka amat cekatan berjualan, dan lagi terampil memasarkan produknya. Produk-produk mereka, yang memang berkualitas tinggi, diekspor hingga ke puluhan negara dunia.

Sentra anyaman di Jepara

Buat saya sendiri, hal semacam itu sama sekali tidak mengherankan. Banyak pelajaran wirausaha yang sebetulnya bisa digali dari filosofi Jawa tradisional. Bukan hanya Steve Job yang punya pemikiran di bidang bisnis dan bisa bilang, “Stay foolish, stay hungry.” Ada ungkapan Jawa pula yang menyerupainya berbunyi, “Urip iku urup.” Hidup itu menyala. 

Benar. Hidup berbeda dengan mati, yang identik dengan padam. Anda, yang sedang hidup ini, hanya dapat dikatakan benar-benar hidup apabila memancarkan daya dan keberadaan kita di dunia. Nah, nilai ini sangat pas tentunya untuk seorang pengusaha. Artinya, saya kira: jangan pernah menyerah dengan keadaan meski tantangan datang silih berganti dan berusaha mematikan semangat kita. Harga bahan baku yang terus naik, persaingan tak sehat, dan tekanan dari berbagai pihak memang perlu disikapi dengan mental yang kuat. Di samping itu, semakin bertumbuhlah dalam memberi manfaat bagi lingkungan Anda, bagai lilin yang benderang menerangi sekitarnya.

Ada juga ungkapan, “Aja gumunan, aja getunan, aja kagetan, aja aleman.” Jangan mudah terheran-heran, menyesal, terkejut-kejut, ngambek, ataupun bersikap manja. Bagi saya, ungkapan ini mengingatkan agar kita mengutamakan profesionalitas di atas kepentingan atau perasaan pribadi. Pengalaman buruk merupakan hal yang sangat biasa dalam dunia usaha. Bila tak cukup teguh dan keras terhadap diri kita sendiri, kita akan dengan mudah menuruti perasaan kita sendiri dan tersapu oleh gelombang.
Dalam hal-hal tertentu, saya bahkan jauh lebih suka menerapkan nilai-nilai Jawa untuk bisnis dibanding wejangan-wejangan para taipan sukses Barat. Kelebihan etika Jawa adalah kentalnya penekanan untuk menjauhi egoisme, jangan mementingkan diri sendiri, prioritaskan keselarasan dengan lingkungan. Sementara cara berpikir Barat, sebaliknya, kerap menekankan individualitas dan pencapaian diri. Salah-salah menjalaninya, seseorang malah bisa terjatuh dalam egonya sendiri.

Gunungan


Terakhir, ungkapan “Ojo kuminter mundak keblinger, ojo cidro mundak ciloko,” yang artinya jangan merasa paling pandai supaya tidak salah arah, jangan ingkar dan curang supaya tidak celaka. Ini asas yang, bagi saya, nomor satu mesti dijunjung dalam membangun bisnis. Sering ketergesa-gesaan seseorang meraih sukses pribadi membuatnya menghalalkan segala cara tanpa mengindahkan sesamanya. Padahal bisnis tak mungkin berjalan tanpa kepercayaan—yang awalnya berasal dari kejujuran. Bisnis tak akan ada tanpa rekan kita yang juga ikut sukses dan menikmati hasilnya.

Jadi, bagaimana dengan Anda? Filosofi Steve Jobs atau filosofi Jawa?



Sumber: http://www.tokoon.com/Product/Detail/15857/0/0/2


No comments:

Post a Comment