Tulisan saya kali ini
sedikit menyambung dengan tulisan saya sebelumnya mengenai socialentrepreneurship . Kali ini saya ingin membahas lebih detail mengenai
Muhammad Yunus, salah satu tokoh social entrepreneur yang saya kagumi.
Kalau boleh dikatakan,
tak banyak hal yang membedakan Muhammad Yunus, penerima Nobel Perdamaian 2006,
dengan penyalur pinjaman kebanyakan. Hanya saja, ia berani mempercayai
orang-orang yang kurang beruntung. Ia mempercayai bahwa seseorang menjadi
melarat akibat dirinya tidak memiliki akses yang dibutuhkan untuk memberdayakan
diri, bukan karena dia tidak memiliki kemampuan atau kapasitas.
“Fakir miskin sendiri
dapat menciptakan dunia yang bebas kemelaratan. Apa yang perlu kita lakukan
hanyalah membebaskan mereka dari rantai yang kita kalungkan kepada mereka,”
ujar Yunus.
Yunus sendirilah yang
kemudian membuktikan kebenaran keyakinannya itu. Grameen Bank, bank yang
dirintis Yunus untuk kelompok miskin, mencatat tingkat pengembalian kredit
mikro hingga 95-98 persen, angka yang belum pernah dicapai oleh pinjaman
perbankan konvensional. Grameen Bank menyediakan bantuan keuangan bagi 7,3 juta
keluarga—3,2 juta di antaranya keluarga miskin—di Bangladesh. Bank ini juga
mengundang perhatian internasional, sampai-sampai investasi di keuangan mikro
Bangladesh meningkat 300 persen antara 2002-2004.
Muhammad Yunus |
Berbeda dengan upaya
pengentasan kemiskinan sebelum-sebelumnya yang berorientasi mengulurkan
santunan kepada kelompok miskin, bagi Yunus, yang terlahir sebagai anak ketiga
dari sembilan bersaudara dalam sebuah keluarga muslim, mengeluarkan fakir
miskin dari persoalan kemiskinan melalui jalur bisnis. Dia menghindari
pemberian santunan langsung karena hal ini akan membuat lapisan masyarakat
miskin ini terlalu bergantung pada orang lain. Oleh karena itu, yang ia berikan
“hanyalah” fasilitas yang dapat membuat mereka mandiri secara finansial.
“Bisnis adalah cara yang
sangat indah untuk menuntaskan persoalan,” ujarnya di sebuah seminar yang
terdiri dari para bankir. “Hanya saja kita tidak pernah menggunakannya untuk
tujuan tersebut. Kita hanya menggunakannya untuk mencetak uang. Bisnis,
akibatnya, sebatas memuaskan kepentingan pribadi dan bukannya kepentingan
bersama.”
Fakta lainnya yang juga
mengejutkan, 95% dari nasabah Grameen Bank sejak bank ini mulai beroperasi pada
1983 adalah wanita. Di Bangladesh, negeri asal Yunus, wanita berada pada
kedudukan sosial yang lemah dan rentan. Mereka digaji lebih rendah ketimbang
lelaki dan berbagai produk hukum, sebagai contoh undang-undang pernikahan dan
perceraiannya, mendiskriminasi wanita di mana mereka tidak memiliki hak sama
sekali atas harta keluarga.
Dengan memberikan pinjaman
dan kesempatan bagi mereka untuk membuka usaha, bekerja, serta memberdayakan
dirinya, Yunus telah melakukan lebih dari sekadar mengembangkan perekonomian
negaranya atau membuka lahan usaha bagi banknya. Ia, lewat bentuk perjuangannya
sendiri, telah menegakkan keadilan bagi para wanita yang termarjinalisasi di
negerinya.
Saat ini Yunus yang sudah
berusia 73 tahun masih aktif memberikan kuliah mengenai kewirausahaan sosial di
berbagai belahan dunia serta mengembangkan sayap-sayap bisnis sosial dari
Grameen Bank. Sebagai contoh, bekerja sama dengan Danone ia mencoba memproduksi
yoghurt yang terjangkau sekaligus dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat
miskin. Di bawah naungannya pula, Yayasan Grameen memproduksi Grameenphone yang
membantu masyarakat desa miskin untuk berkomunikasi.
Dari kisah di atas, kita
dapat mengambil contoh bahwa para pengusaha juga punya tanggung jawab terhadap
lingkungan atau masyarakat di sekitarnya. Janganlah menjadi entrepreneur yang
hanya mengejar profit. Pengusaha yang baik adalah pengusaha yang juga
berkontribusi terhadap kehidupan sesamanya.
Note:
Kalimat penutup yang
bersifat motifasi belum ada. Silakan ditambahakan.
No comments:
Post a Comment